Pada Menikahi Sabarini

Peserta Baca di Rangkas pekan ke-40.
Saya membayangkan sedang duduk di bawah patung sore itu, Rabu, 9 Juli 2025. Matahari sore cerah menyinari kota yang (relative) kecil ini, Rangkasbitung. Beberapa Kawan duduk melingkar di dekat Sepatu Multatuli. Ini pekan keempat puluh kami berjumpa. Membaca pelan novel tebal karya Magnum Opusnya Pramoedya Ananta Toer: Arus Balik.
Ya, ini komunitas kecil #BacadiRangkas! Komunitas membaca novel Bersama dalam format membaca pelan. Bentuk membaca yang kami namakan Reading Group. Ya, reading group. Format membaca Bersama secara pelan. Membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat. Format membaca yang mudah, murah, dan ada nilai sosialnya. Mudah karena setiap orang dapat ikut serta dalam kegiatan Bersama ini. Murah karena kami tidak ada persyaratan khusus. Murah karena tidak ada biaya apapun. Dan ada nilai sosialnya karena kami membaca secara massal, secara Bersama-sama.
Sore ini kami akan membaca Bab 35, Lao Sam-Pajajaran-Sunda Kelapa. Dalam bab ini, tokoh Pada melanjutkan perjalanannya setelah gagal menemui Patih Tuban. Ia memasuki wilayah Lao Sam dari selatan dan segera tertangkap oleh pasukan Tionghoa yang menjaga wilayah tersebut, karena dianggap melanggar aturan waktu perang. Setelah menyatakan bahwa ia anak angkat Babah Liem Mo Han, ia dibebaskan dan dibawa ke rumah Coa Mie An, yang menyambutnya dengan ramah.
Dari Lao Sam, Pada melanjutkan ke Pajajaran dan menyaksikan ketegangan sosial di tengah pergesekan antara kekuasaan Hindu dan Islam. Di sebuah desa, ia bertemu dan kemudian menikahi Sabarini, anak kepala desa yang sedang terancam untuk dijadikan selir oleh bangsawan Pajajaran.
Pernikahan mereka terjadi di Sunda Kelapa. Sebelumnya mereka melakukan perjalanan melalui Sungai Ciliwung. Di dalam perjalan ada adegan ketika mereka harus menginap semalam. ditulis dalam gaya naratif Pramoedya yang puitis dan simbolik:
“Pada menyembunyikan diri dan hanya bisa menyebut-nyebut melihat keindahan tubuh Sabarini: ‘Masyaallah… Allah Maha Besar… Kau karuniakan keindahan semacam itu kepadaku, ya Tuhan, kepada hamba-Mu yang justru tidak mencari ini. Betapa pemurahnya Engkau, ya Tuhan.’
Ia sama sekali tidak perhatikan air kali yang kini telah berubah kuning berlumpur… Namun kesamaran itu tidak membatalkan pengetahuan Pada, bahwa ia sedang mengagumi tubuh cantik, indah, gesit – tubuh seorang wanita yang belum lagi jadi istrinya.”
Bagian ini menekankan kekaguman mendalam Pada terhadap Sabarini dalam suasana spiritual dan intim, namun tetap menjaga kehormatan sastra tanpa eksplisit menggambarkan tindakan fisik lebih jauh. Pernikahan mereka dilangsungkan secara Islam di Sunda Kelapa, menandai pertobatan keduanya.
Sunda Kelapa digambarkan dalam kondisi transisi setelah jatuh ke tangan pasukan Demak di bawah pimpinan Fathillah. Kota ini dihuni oleh pendatang Muslim dan mengalami perubahan besar dengan pembangunan infrastruktur seperti tanggul dan masjid kemenangan. Fathillah menindas sisa penduduk Hindu dan mengerahkan tenaga kerja untuk membangun kekuatan Demak di wilayah ini.
Meski Sunda Kelapa berhasil direbut, terjadi kekhawatiran atas kemajuan bandar Panjang di Sumatra yang mulai menggantikan posisi perdagangan Sunda Kelapa akibat kebijakan pajak tinggi Fathillah. Pada akhirnya, Pada dan Sabarini meninggalkan Sunda Kelapa, karena ia masih dalam tugas perjalanan dan tak berniat menetap.
Demikian. Ketemu kembali Rabu sore mendanga di Bab 36: Blambangan. Salam Pramis. #Seabadpram #BacadiRangkas.



