Max Havelaar
The Legacy of Multatuli in Indonesia
This festival showcases a wide array of artistic and cultural expressions inspired by Max Havelaar. There’s a buffalo parade, reflecting the deep loss experienced by a young couple from Lebak, Saidjah and Adinda, as victims of colonial injustice in Max Havelaar. There are theatrical performances based on Max Havelaar, symposia on postcolonial ideas and reinterpretations of the novel, and film festivals that help young people in Lebak delve deeper into cinematography. We also staged an opera titled Saidjah and Adinda features real buffaloes on stage.
Museum (Kembar) Multatuli
Obrolan dilanjut di bawah patung Multatuli. Jaraknya sekitar tiga menit dari museum. Cahaya matahari adalah kemewahan di sini. Juga Multatuli, tentu.
Perpustakaan Universitas Leiden
Menjadi pengunjung Universitas Leiden untuk waktu seminggu. Sore waktu Leiden. Nguntit Pak Amir Sidharta usai pertemuan dengan mahasiswa dan pengurus Museum Volkenkunde.
Museum Multatuli Amsterdam
Inilah Museum Multatuli. Di Korsjespoortsteeg No. 20 Amsterdam. Jika berjalan dari Central Stasion sekira 5 menit. Rumah ini tempat lahir Multatuli.
Rumah Si Burung Kenari
Tulisan ini menjelaskan bahwa rumah yang pernah ditinggali oleh Multatuli secara bentuk, ukuran, dan jumlah kamarnya cocok dengan bangunan yang kini jadi gedung negara di kompleks Pemda Lebak yang terletak di belakang pendopo Lebak.
Jalan Hidup Multatuli
Jalan hidup Si "Kenari Kuning" atau Eduard Douwes Dekker atau Multatuli (Bahasa Latin: "Aku yang Banyak Menderita).
Mara(n)dahana: Drama Tari Cerita Saidjah Adinda
Mara(n)dahana sebuah Sendra Tari dengan bahan baku kisah Saijah dan Adinda yang ditulis Multatuli dalam Max Havelaar.
Saijah
Peristiwa hidup dan kisah cinta romantis yang tragis itu disampaikan Multatuli dengan gaya tutur yang bersahaja dan dengan gerak irama yang sayu. Di beberapa bagian dipergunakan bentuk nyanyian untuk menyatakan perasaan Saijah sewaktu mengenang dan mengharapkan Adinda.










