Obrolan Asyik: Masa Depan Literasi di Era Disrupsi

Kukayuh pedal sepeda Federal warna kuning di tengah gerimis yang mulai turun meninggalkan halaman museum. Siang jelang penghujan di pekan keempat bulan Januari 2024. Selepas Jumat niat sudah bulat mengikuti diskusi. Sepeda kuarahkan menuju Universitas Setiabudi Rangkasbitung. Melalui Jalan Iko Jatmiko yang di lewatinya Kantor Kejaksaan lalu Bank BRI. Belok kiri menuju Kampung Baru atau Jalan Holand Sukadiningrat. Ke kiri sedikit melalui perempatan yang di salah satu sudutnya ada Kantor Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Banten (KCD). Kulewati Kantor Pengadilan Negeri Kelas II Rangkasbitung. Sepeda terus kukayuh melalui Jalan Ir. Juanda hingga ke wilayah Blok M. Tiba di pertigaan Blok M sepeda kuarahkan menuju Kompleks Pendidikan melalui Jalan Dewi Sartika. Belok sedikit ke kanan ada tanjakan yang lumayan curam. Di dekat tanjakana ini Studio Kuldesain berada. Kuldesain alias Karya Urang Lebak Desain ini memproduksi banyak produk kriya. Ada jam dinding kayu, lukisan, cendramata berbahan kayu, dan bisa pesan sesuai keperluan. Lepas dari tanjakan sepeda belok kiri menuju tempat acara.
Jumat siang, 26 Januari 2024 sekira pukul 14.00 hujan deras turun selepas sepeda kusandarkan di pohon jambu depan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Kedai Proses yang didirikan aktor DC Aryadi. Ada Firman Venayaksa yang akan menjadi narasumber diskusi, Pak Tono Sumarsono jurnalis senior di Lebak, Kang Budi Harsoni pengelola Majalah 1828, beberapa mahasiswa peserta diskusi, tuan rumah DC Aryadi, tentu saja.
Bonnie Triyana tiba lima belas menit kemudian. Bonnie akan bersama Firman menjadi pembicara di obrolan kali ini. Obrola asyik tentang masa depan literasi di era disrupsi. Kang Budi Harsoni yang menjadi moderator dipersilakan oleh Musail setelah acara seremonial selesai. Musail salah satu warga Kedai Proses yang dipercaya oleh DC Ayradi untuk menjadi pengatur acara.
Dalam prolognya, Budi Harsoni menyampaikan biodata narasumber dan mempersilakan pada waktunya kepada peserta yang tampak aktif mengikuti diskusi untuk bertanya atau memberikan pernyataan.
Firman yang baru saja dilantik sebagai Kepala Perpustakaan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) memulai pembicaraan dengan pengertian literasi dan disrupsi. Menurutnya istilah disrupsi ini bermula dari masalah ekonomi. Secara Bahasa, disruption artinya gangguan atau kekacauan; gangguan atau masalah yang mengganggu suatu peristiwa, aktivitas, atau proses. Menurut Firman, dalam teori ekonomi atau bisnis dikenal istilah inovasi disruptif, yaitu inovasi yang menciptakan pasar baru dan jaringan nilai dan akhirnya mengganggu pasar dan jaringan nilai yang ada, menggantikan perusahaan, produk, dan aliansi terkemuka di pasar yang sudah mapan.
Istilah disrupsi mulai dipopulerkan akhir abad ke-20 dalam dunia bisnis, di mana perusahaan besar mengalami kemunduran sebagai akibat kreativitas dan inovasi dari perusahaan kecil melalui bisnis digital. Hal ini diluar dugaan sebelumnya. Kemunduran perusahaan besar oleh perusahaan kecil dalam persaingan bisnis disebut sebagai disrupsi. Tokoh yang mempopulerkan istilah tersbut adalah Clayton Christensen dalam buku yang berjudul “The Innovator’s Dilemma” tahun 1997.
Sejak itu istilah disrupsi sering menjadi fokus perhatian para ekonom, walaupun sebelumnya istilah disrupsi sudah ada. Dengan adanya perkembangan digital, maka bisnis baru tumbuh, di mana perusahaan kecil dapat mengalahkan perusahaan besar yang sudah mapan. Pada awalnya istilah disrupsi hanya untuk masalah ekonomi atau bisnis, namun seiring perkembangan digital yang mengarah pada kehidupan manusia, istilah disrupsi dipergunakan untuk menjelaskan berbagai perubahan besar dan mendasar. Bukan hanya dalam di dunia bisnis saja, melainkan juga bidang kehidupan lainnya seperti social, budaya, dan politik.
Literasi masih selalu dipandang sebagai kemampuan baca, tulis, dan berhitung. Sementara itu literasi baru di Abad 21 mencakup literasi internet, literasi digital, literasi media baru, literasi informasi, dan multiliterasi. Literasi ini mencakup kemampuan membaca, menganalisis, dan membuat kesimpulan berpikir berdasarkan data dan informasi yang diperoleh. Literasi baru ini terkait dengan kemampuan memahami berbagai perkembangan teknologi dan bagaimana memanfaatkannya bagi kehidupan. Untuk itu dibutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi serta kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, dan inovatif.
Menurut Firman, di Era penuh disrupsi ini tantangannya adalah teknologi. Para pegiat literasi tidak hanya berpatokan pada buku fisik semata sebab tantangannya adalah buku digital. Maka sangat mungkin ke depan, taman bacaan itu tidak semata menyediakan buku. Minimal syarat pertamanya adalah penyediaan wifi. Masih menurutnya, para pengelolaa TBM dan para pegiat literasi harus sadar akan adanya disrupsi ini. Keberadaan buku fisik tetap ada namun dengan adanya perkembangan teknologi, harapan masyarakat tentang kecepatan informasi juga terlayani.
Hujan belum juga reda. Beberapa bagian atap Aula Munding Laya di Kedai Proses bocor. Tetesan airnya juga mengenai pakaian Bonnie Triyana. Setelah dipersilakan Budi, Bonnie mengambil mikropon. Bonnie memulai paparannya terkait sejarah awal berdirinya republik Indonesia. Menurutnya, di awal republik ini berdiri jumlah penduduk di sekitar 60 juta jiwa. Dari jumlah tersebut sembilan puluh persen masih buta huruf. Di masa kemerdekaan Indonesia, Bung Karno sangat bersemangat membangun negara Indonesia dengan tidak lagi mengangkat senjata. Namun diganti dengan mengangkat buku dan pena memberantas buta huruf di kalangan masyarakat.
Pada tahun 1948an misalnya, pemerintah mencanangkan sebuah program Pemberantasan Buta hurif (PBH). Walaupun kondisi saat itu masih dalam keadaan genting perang. Pelaksanaan PBH ternyata dapat terlaksana di banyak tempat. Tidak kurang dari 17.822 guru yang terlibat dan dengan jumlah murid sebanyak 761.483 orang. Tersebar di 18.663 lokasi. Hasilnya dapat menekan angka 90% buta huruf menjadi sampai 40%. Sampai tahun 1960an.
Menurut Bonnie, di era disrupsi ini yang menjadi kecakapan adalah seharusnya setiap orang mampu memanfaatkan narasi yang ada demi kemajuan suatu daerah. Bonnie mencontohkan bahwa di Belanda misalnya ada cerita anak-anak tahun 1910 karya penulis Hans Brinker, tentang seorang anak laki-laki yang menutup tanggul yang bocor dengan jarinya agar tanggul tersebut tidak jebol.
Disebutkan, Peter adalah seorang anak kecil Belanda, putra seorang nelayan miskin. Dia, seperti semua anak Belanda, awalnya terkesan dengan kenyataan bahwa keselamatan seluruh masyarakat bergantung pada kekuatan tanggul. Dia dimita menemui bibinya pada suatu malam. Saat berjalan di sepanjang kaki tanggul, dia menemukan sebuah lubang kecil. Lalu dia menyadari bahwa jika dibiarkan air mengair melalui lubang kecil ini, air akan segera merobohkan tanggul dan membanjiri kota. Ia lalu memasukkan jarinya ke dalam lubang dan menunggu seseorang datang membantunya. Malam tiba, keluarganya memutuskan dia tetap tinggal Bersama bibinya dan tidak mengkhawatirkannya.
Pagi harinya si Peter ditemukan hampir tidak sadarkan diri karena kelelahan dan kelaparan. Dia ditemukan oleh adik perempuannya yang mencarinya. Dia berlari dan memberi tahu penduduk. Penduduk datang dan membantunya, memperbaiki tanggul, dan membawa pahlawan kecil ini kembali ke kota dengan penuh kemenangan. Dia diterima walikota dan dipuji Menteri. Melalui kepahlawanannya dia dikenal sebagai Pahlawan Kecil dari Belanda.
Masih menurut Bonnie, sampai saat ini tempat Peter menutup lubang dengan telunjuknya tersebut ramai dikunjungi wisatawan. Kecerdikan dan kemampuan dalam mengelola narasi ini mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Bagaimana dengan di Lebak. Di Lebak ada narasi yang ditulis oleh Multatuli melalui novelnya Max Havelaar (1860) tentang Saidjah dan Adinda di Desa Badur, Kecamatan Cirinten. Narasi kisah cinta pemuda dan gadis Lebak, Saidjah Adinda ini harus dimanfaatkan sebab 42 negara telah membaca kisah ini. Jika tidak akan sangat disayangkan.
Penutup dari Bonnie, bahwa di masa sulit di awal kemerdekaan Indonesia tokoh-tokoh hebat seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Agus Salim, dan lainnya mampu menguasai berbagai bahasa di dunia. Mereka berpikiran kosmopolitan. Pikirannya maju dan pergaulannya internasional. Maka sangat mengherankan dan sebuah kemuduran jika saat ini banyak yang berpikiran sempit. Tidak melihat perkembangan dan kemajuan sebagai sebuah nilai yang harus dimanfaatkan. Mereka yang di awal kemerdekaan sangat berpikiran terbuka dan maju itu dikenal sebagai kreatif minoritas atau minoritas kreatif. Bonnie berharap hanya minoritas kreatiflah yang mampu mengubah peradaban. Mampu menyerap tanda-tanda zaman dan kondisi alam sehingga mampu melahirkan ilmu pengetahuan.
Hujan mereda sehabis Asar. Moderator menutup obrolan pukul 17.00 WIB. Kami Bersama berfoto. Jumat sore yang hangat dan menyenangkan. Bertemu kawan-kawan. Silaturahmi pengetahuan. Sepeda membawa kukembali ke Alun-Alun Rangkasbitung. Kukayuh pelan. Kunikmati langit senja sehabis hujan.
Rangkasbitung, 29 Januari 2024

