Nasi Uduk, Es Campur, dan Musik di Gunung

Ini catatan bersepeda menuju Imah Kopi Gunung Karang tempat konser Musik di Gunung berlangsung, Sabtu (17/2/2024). Di perjalanan sempat sarapan nasi uduk dan meneguk segelas es campur legendaris serta melalui jalur angker Lawang Taji. Selamat membaca!
Saya meminta porsi setengah saja. Lauknya telur dadar, tempe goreng, dan bala-bala. Jeni telah lebih dulu menerima piring berisi nasi dan lauk pilihannya. Ya, ini tempat makan nasi uduk di Rangkasbitung! Banyak sekali penjual nasi uduk di sini. Nasi uduk paling legendaris di Rangkasbitung mungkin M. Iming. Tapi ini sedang membicarakan nasi uduk di pagi hari. Ya, nasi uduk pagi! M. Iming hadirnya di sore hingga malam hari. Nanti kita tulis tersendiri, ya.
Ya, ini Nasi Uduk Prasmanan Ibu Iis. Lokasinya di Rancasema. Tepatnya setelah jembatan dua. Lebih dekat lagi di seberang PO Bus Rudi. Setiap pagi selalu ramai. Tak terkecuali pagi ini, Sabtu, 17 Februari 2024. Selepas dari Museum Multatuli tempat kami memulai gowes pagi ini, kami mampir di sini untuk sarapan.
Kami berencana akan bersepeda ke Imah Kopi Gunung Karang di Kecamatan Karang Tanjung Pandeglang. Ada acara "Musik di Gunung" yang digagas teman-teman dari Pojok Kiri, Firefly Record, Pandeglang Creative Hub, dan Insomnia. Rencananya acara akan diisi oleh Beranda Rumah, Ari Tangange, dan Keroncong Smantri Serang. Semoga sampai di lokasi, ya.
Balik ke Nasi Uduk Prasmanan, ya. Menu pilihannya banyak banget. Ada telur dadar, telur balado, telur semur, tahu semur, peyek udang, tongkol balado, ayam goreng, semur bola-bola daging, prekedel, bala-bala, tumis kulit melinjo, bihun, teri kacang, tempe goreng, ati ampela, sate kikil, dan tentu saja sambel. Sambelnya enak. Nasi uduknya enak. Buka dari jam 05.00 pagi hingga habis di sekira pukul 10.00 WIB. Harganya cukup murah, kami membayar Rp28.000 untuk makan berdua dengan rincian: setengah porsi nasi uduk, telur dadar, tempe goreng, dan bala-bala.

Pukul 08.00 WIB kami lepas dari Nasi Uduk Prasmanan Ibu Iis. Saya mengayuh sepeda di depan, Jeni di belakang. Sampai di Pertelon Warunggunung saya menukar sepeda ke Jeni. Saya mengayuh sepeda Laux Fiorentina ukuran 16 ternyata lebih melelahkan. Tukar dengan Pocket Rocket (20 inch) milik Jeni. Lumayan lebih ringan. Di perjalanan bertemu dengan Mas Sucipto yang menuju ke tujuan yang sama Gunung Karang. Mas Sucipto gowes dari Cikupa Tangerang. Kami sempat berbincang sebentar di perbatasan Lebak dan Pandeglang saat rehat minum. Setelah itu, beliau ngacir tak terkejar.
Di Alun-Alun Pandeglang kami tak henti sebab ada tujuan lain. Ke mana? Ya, ke Es Campur Mang Cawa. Apa lagi ini? Tadi sudah sarapan nasi uduk. Ini mau minum es campur. Es campur legendaris dari Pandeglang. Benar.
Mang Cawa sendiri sudah tiada kini. Penerusnya merupakan generasi kedua yang mengelola kuliner ini. Ya, Es Campur Mang Cawa! Letaknya berada di belakang Masjid Agung Ar Rahman Pandeglang dan berhadapan dengan SMPN 4 Pandeglang. Ya, yang maksud adalah yang di Kebon Cau. Sebab ada pula cabang lain, yaitu di Pamagersari, Tenjolaya, dan di samping Gedung Golkar.
Jika siang tiba apalagi terik matahari, Es Campur Mang Cawa jadi solusi. Seperti mata air di tengah padang pasir. Dingin. Adem. Jadi incaran warga di Pandeglang dan sekitarnya. Es Campur Mang Cawa hadir sejak 1972, atau sudah 52 tahun sejak mulai berjualan dan hingga kini masih ada.
Saya memberhentikan sepeda dan menyimpannya di belakang. Duduk di bangku dan meminta 2 gelas es. Es Campur Mang Cawa bersampingan dengan Mi Ayam Mas Blangkon. Saya menerima gelas es campur. Mengaduk dan meminumnya. Ciri khas Es Campur Mang Cawa berupa kacang hijau dibalut dengan santan, sekuteng, dan gula aren. Bikin legit di mulut. Sekuteng yang berwarna jambon atau pink terbuat dari santan kelapa dan sagu. Setiap hari setidaknya habis 7 kilogram kacang hijau untuk satu gerobak Es Campur Mang Cawa.
Sebelum menetap di Kebon Cau pada tahun 2010 dan memiliki cabang di tiga tempat lainnya, Es Campur Mang Cawa dijual keliling menggunakan gerobak. Terkadang juga mangkal di depan Gedung DPRD Pandeglang. Es Campur Mang Cawa buka setiap hari dari pukul 09.00 hingga pukul 17.00 WIB. Hari Sabtu dan Minggu terkadang hanya sampai pukul 14.00 WIB karena sudah habis. Saya membayar Rp16.000 untuk dua gelas.

Saya menatap jalanan menuju Imah Kopi Gunung Karang. Jeni menyampaikan jarak menuju Imah Kopi Gunung Karang sekira 5.3 Kilometer lagi. Saya menanyakan bagaimana jalannya. Ia menyampaikan dari sini nanjak terus dan nanti di atas ada ketemu datar. Saya mengiyakan.
Benar saja. Jalannya bagus cor-coran. Nanjak terus. Hampir saja saya mau turun dari sadel tapi hati mencegahnya. Di beberapa bagian akan ketemu lokasi yang sungguh dingin. Adem banget. Ada beberapa anak SMP dan SMA nongkrong. Jalanannya terlindungi pepohonan. Jadi adem banget. Setelah diberi tahu kawan Fahmi yang rumahnya tak jauh dari sana, tempat itu namanya Lawang Taji.
Warga Pandeglang mengidentifikasi Lawang Taji sebagai tempat angker dan misterius. Konon, Lawang Taji merupakan gerbang menuju alam gaib. Menghubungkan kerajaan bangsa jin dengan daerah Gantarawang di Lebak. Lawang Taji memiliki pesona eksotis dan menarik. Suasana sejuk dengan pemandangan yang indah. Beberapa pasangan muda tampak berfoto di dekat sepeda motor mereka di Lawang Taji.
Lepas dari Lawang Taji jalanan masih menanjak. Jeni sudah tidak terlihat. Saya terus mengayuh. Ban depan sepeda mulai sering terangkat. Saya mulai tidak konsentrasi. Lewat perempatan menuju Kampung Domba, kami masih terus naik.
Tiga jam setelah lepas dari Nasi Uduk Prasmanan Ibu Iis dan berhenti di Es Campur Mang Cawa akhirnya kami tiba di Imah Kopi. Teman-teman Beranda Rumah dan Pandeglang Creative Hub serta pengunjung berbaur menjadi satu. Saya tidak kuat membawa sepeda naik tangga menuju beranda imah kopi. Jeni membantu. Ia selalu sigap. Juga mengambil foto. Selepas duhur Musik di Gunung dimulai. Dua pembawa acara berhasil mengajak pengunjung menikmati sajian musik.
Beranda Rumah membawakan beberapa lagu andalannya. Termasuk yang baru saja rilis di awal tahun 2024 ini “Sirna Rana”. Lagu-lagu Beranda Rumah dapat teman-teman dengarkan di berbagai platform musik seperti Youtube, Spotify, Deezer, dan Apple Music. Kelompok Musik Beranda Rumah yang terbentuk pada 10 Agustus 2016 terdiri atas Rendy “Djoni Cobra” Maulana di vokal, Alfan Ferdiansyah di Drum, Fajrin di gitar, Rijal “Tjibalioeng” Mahfud di Seruling. Dilansir dari akun media sosial instagramnya, nama Beranda Rumah diambil dari kebiasaan berkumpulnya para personel di teras/beranda rumah salah satu personel band.
Penampilan Ari Tangange yang bercita-cita menumbangkan kemasyhuran Ifan Sandekala dalam hal baca puisi menyusul usai Beranda Rumah tampil. Ari Tangange mencoba membacakan dua puisi karyanya diiringi tiupan flute dari sahabatnya. Di akhir tampil memukau Keroncong Smantri dari Serang.
Usai menikmati sajian musik dan puisi serta perut kenyang dari menu Imah Kopi kami turun. Oh ya, Imah Kopi Gunung Karang menyajikan beragam makanan dan minuman dengan harga terjangkau. Suasananya enak dengan pemandangan luas. Tempatnya nyaman. Ada ruangan kecil semisal mini museum yang menampilkan informasi beragam kopi yang tumbuh di Banten. Saya mengingat ada Kopi Kobaki (Komunitas Banten Kidul), Kopi Dadaman, Kopi Cigemblong, dan Kakao. Menarik. Bisa jadi pilihan wisata keluarga.
Sepeda meluncur deras. Sebentar mampir di rumah kawan Fahmi di kaki Gunung Karang. Ada manggis yang baru dipetik. Segar rasanya. Terima kasih, Ami dan Jafra. Kami turun. Sepeda meluncur deras hingga sampai di tempat ketika sebagian orang berolahraga di Alun-Alun Rangkasbitung. Kami naik tiga jam, tetapi pas turun kurang dari satu jam. Salam bersepeda.
Rangkasbitung, 19 Februari 2024














