Bandar Banten

Rabu pekan lalu itu hujan turun di Rangkasbitung. Turunnya tepat ketika #BacadiRangkas mau dimulai. Ya, sekira pukul 16.00 WIB. Lumayan lebat meski tak sampai membuat kami gagal membaca. Sore Rabu itu, 14 Mei 2025. Ini pekan ke-32 kami membaca novel "Arus Balik" karya Pram. Bacaan kami hinggap di Bab 27: Demak Bergolak.
Meski di luar hujan, di Pendopo #museummultatuli pembacaan tetap gayeng. Bab 27 kami lahap bersama menyantapnya. Halaman demi halaman. Bab dibuka dengan narasi tentang kebesaran bandar Banten. Banten? Iya, Banten. Banten pernah jadi giant? Tentu saja. Awal bab ini menarasikan Banten sebagai bandar terbesar dan teramai di Jawa.
Kemudian menyusul cerita wafatnya Sultan Demak, Adipati Unus alias Pangeran Seda Lepen karena sakitnya selepas penyerangan ke Malaka. Adipati Unus meninggal pada 1521 Masehi. Meluncur kemudian pertikaian sengit antara Pangeran Trenggono yang menggantikan Unus dengan ibunya, Gusti Ratu Aisah, Permaisuri Sultan Syah Sri Alam Akbar Al Fattah almarhum.
Pertikaian antara anak dengan ibu yang hampir-hampir tak pernah usai. Kisah juga mengurai kebangkitan Kerajaan Pajajajaran dengan rajanya Prabu Sedah. Beberapa kebijakannya menguntungkan Portugis. Salah satunya dibuatkan kerja sama di antara mereka. Kerja sama Pajajaran dengan Portugis diabadikan di sebuah prasasti. Juga ada didirikan kantor dagang di Sunda Kelapa.
Jelang akhir Bab, Adipati Demak Trenggono menghadap ibunya. Pertikaian mereda. Ibunda berpesan agar Trenggono lebih berani dan mau melawan Portugis. Sebuah pesan dari Gusti Ratu Aisah seperti berikut:
"Pikiran yang keliru adalah racun, bisa membunuh setiap raja. Barang siapa tak waspada, dia bisa tewas sepuluh kali sebelum mati. Dan racun itu selamanya bersumber pada pikiran sendiri." (Arus Balik, hal. 480)
Jumpa kembali Rabu pekan depan, ya. Salam Pramis. Salam sehat selalu. Salaman jauhan. #seabadpram#BacadiRangkas



