Multatuli di Indonesia

Adalah Sigit Susanto, seorang Kafkais, anggota Reading Group Novel Ulysses karya James Joyce di Yayasan James Joyce di Zurich yang memperkenalkan saya untuk pertama kali pada Multatuli dan novelnya Max Havelaar. Reading Group adalah metode membaca karya sastra yang murah, massal, dan ada nilai sosialnya.

Sebagai seorang PNS guru saya mengajar di SMPN 3 Sobang di sebuah kampung di daerah terpencil di Kabupaten Lebak. Tepatnya di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten. Sebuah kampung berjarak 57.7 km atau 2,14 jam perjalanan dari Kampung Badur, tempat Multatuli menulis inti novel Max Havelaar. Saya memulai membawa buku-buku bacaan dari rumah di Depok, ke Kampung Ciseel sejak 2009. Itu terjadi di bulan November. Saya mendirikan Taman Baca Multatuli di akhir tahun itu. Kemudian membeli 40 eksemplar novel Max Havelaar dalam Bahasa Indonesia dan memulai membaca bersama pada Maret 2010.

Novel Max Havelaar setebal 400an halaman dibaca setiap Selasa sore dari pukul 16.00-18.30 WIB. Setiap kata dan kalimat dijelaskan dan didiskusikan. Pesertanya adalah siswa sekolah setingkat SD, SMP, dan SMA. Pembacaan pertama tamat 11 bulan. Pembacaan kedua selesai 2 tahun 5 bulan. Dan pembacaan ketiga selesai dalam waktu 3 tahun.

Enam bulan sepulang dari Amsterdam, tepatnya pada 1 Januari 2017 saya diminta Bupati Lebak untuk memulai mengisi Museum Multatuli yang masih kosong di Alun-Alun Timur Rangkasbitung. Menempati gedung Bekas Wedana Rangkasbitung yang dibangun pada tahun 1914. Museum Multatuli diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Lebak. Dibuka untuk umum pada 11 Februari 2018. Museum dibuka oleh Bupati Lebak Hj. Iti Octavia Jayabaya dan Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid.

Museum Multatuli memiliki tagline “Museum Antikolonial Pertama di Indonesia”. Memiliki tujuh ruangan dengan benang merah pada novel Max Havelaar yang terkenal. Ruangan pertama selamat datang. Ruang kedua masuknya kolonialisme ke Nusantara. Ruangan ketiga tanam paksa. Ruang keempat Multatuli dan karyanya. Ruang kelima tentang Banten. Ruang keenam Lebak, dan terakhir Rangkasbitung di ruang ketujuh.

Sejak dibuka untuk umum kami menerima kunjungan luar biasa. Anak-anak sekolah, mahasiswa, peneliti, sejarawan, wisatawan mancanegara, para pembaca Max Havelaar, dan Multatulian dari seluruh dunia datang. Kami memiliki program publik untuk siswa sekolah dan masyarakat umum. Ada belajar menari, pencaksilat, menulis sastra, seni tradisi, dan melukis di museum setiap Minggu pagi. Perlombaan seperti membuat vlog, storytelling, dan melukis juga ada. Penampilan siswa sekolah setiap Jumat sore, seminar buku, dan lainnya.

Museum Multatuli di kota yang relatif kecil dengan ruangan kecil ini sejak 2018 hingga 2024 rata-rata menerima pengunjung pertahun sebanyak 35.589 orang. Sejak pandemi melanda kami memiliki virtual Museum Multatuli yang dapat diakses di www.museummultatuli.id

Museum Multatuli buka setiap hari Selasa-Minggu dari pukul 07.00-16.00 WIB. Senin/Libur Nasional/Cuti Bersama museum tutup.

Sejak dibuka kami terus berbenah. Membawa nama besar Multatuli dan karyanya yang mashur, Max Havelaar tak membuat kami berdiam diri. Ada Festival Seni Multatuli yang diinisasi Pemda Lebak dengan beberapa orang, di antaranya sejarawan yang kini jadi anggota DPR RI Bonnie Triyana. Festival tahunan ini membawa sastra modern sebagai ekosistem yang diangkatnya.

Di dalam festival ini kami menampilkan beragam ekspresi seni dan budaya yang berpegang teguh pada novel karya Multatuli. Ada karnaval kerbau yang menjadi ikon novel dengan tokoh pemuda dan gadis Lebak, Saidjah dan Adinda. Ada festival teater yang mengambil inspirasi dari Max Havelaar. Ada simposium yang mengulas ide-ide pascakolonial dan membaca ulang novel Max Havelaar. Ada festival film yang membawa anak-anak muda Lebak mengenal lebih dalam tentang sinematografi. Ada opera Saidjah dan Adinda dengan menampilkan kerbau sungguhan ke atas panggung. Ada menyusuri jejak-jejak Multatuli di Rangkasbitung, seperti Jalan Multatuli, Bekas Rumah Multatuli, Sungai Ciujung yang terdapat dalam novel, ada Pendopo Bupati tempat Multatuli pidato di depan para pejabat Lebak di hari kedua penugasannya, Klinik Multatuli, Apotek Multatuli, dan lainnya.

Di Festival ini juga kami menampilkan musik tradisi yang menjadi kekhasan Kabupaten Lebak. Kabupaten yang pada tahun  2025 akan berusia 197 tahun. Masih di festival ini juga kami bertemu dengan banyak peneliti dan para pembaca Max Havelaar. Salah satunya dari Indonesia Korea Culture Study (IKCS). Mereka kemudian terinspirasi dan menerjemahkan Max Havelaar dalam bahasa Korea pada tahun 2019. Mereka membongkar Bab di Max Havelaar yang semula 20 bab menjadi 39 bab. Disesuaikan dengan pembaca generasi sekarang.

Museum Multatuli terus melakukan kajian dan publikasi. Kami sangat senang ketika 2021 diajak kerja sama oleh Museum Multatuli Amsterdam dan Universitas van Amsterdam untuk membangun website www.multatuli.online

Setahun berikutnya kami meneliti Pengaruh dan Penerjemahan Max Havelaar di Dunia (2022). Sejak terbit pertama kali di Belanda pada tahun 1860 hingga sekarang, Max Havelaar telah diterjemahkan ke dalam 39 bahasa dan 14 aksara. Yang unik dari proses penerjemahan Max Havelaar adalah prosesnya yang mandiri dan sporadis; para penerjemah pada umumnya tertarik menerjemahkan buku itu karena cerita dan pandangan penulisnya, yang dianggap cocok dengan ideologi yang mereka anut, alih-alih karena motif ekonomi. Hal demikian justru membuat pengaruh Max Havelaar dan Multatuli kepada para penerjemah dan pembacanya menjadi lebih kuat dan personal.   

Demikian. Terima kasih.

Lebak, 6 Juni 2025

***Tulisan ini disampaikan pada saat kegiatan Multatuli International Symposium, Rabu, 18 Juni 2025 di Vrije Universiteit Amsterdam melalui sambungan zoom.

Follow me!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *